Kuil Yasukuni didirkan oleh Kaisar Meiji pada tahun 1869. Awalnya kuli ini digunakan sebagai situs pemujaan bagi pejuang Revolusi (1868-69) atau dikenal dengan nama Perang Boshin. Mereka adalah samurai-samurai yang gugur dalam usaha melengserkan Shogun Tokugawa demi mengembalikan kedudukan kaisar sebagai penguasa tertinggi di tanah Jepang.

 

Ketika memasuki perang dunia I , kuil yang berada di pusat ibu kota Tokyo ini beralih sebagai “rumah” untuk para pasukan Jepang yang gugur diberbagai medan perang. Yap , kuil ini djiadikan sebagai ruang ibadah untuk mendoakan sekitar 2,4 juta arwah yang gugur dalam perang melawan Cina, Rusia, Insiden Manchuria, hingga Perang Dunia I dan II.

 

Kuil Yasukuni sempat menjadi kontroversi di tahun 1978 ketika ada 14 pemimpin tinggi Jepang yang didoakan di sana. Para pemimpin ini diketahui sebagai penjahat perang Kelas A—tokoh yang ikut merencanakan dan mengobarkan perang. Pengadilan Sekutu menjatuhkan hukuman mati dan penjara bagi mereka atas kejahatannya selama Perang Pasifik.

 

Ajaran Shintō dan Nasionalisme Jepang

 

Nasionalisme yang direproduksi oleh kuil Yasukuni ini sangat erat hubungannya dengan ajaran Shintō. Buat yang belum tahu , Shintō adalah jalan hidup khas Jepang yang meyakini bahwa umat manusia sebenarnya merupakan keturunan dewa. Shintō yang kini telah menjadi agama orang Jepang saat ini berkembang sebagai pembeda dari kepercayaan Buddha yang lebih dulu masuk ke Jepang melalui Cina dan Korea.

 

Shintō memandang ritual agama dan pemerintahan layaknya kesatuan yang berarti kekuasan hanya ada di tangan Kaisar Jepang yang dipercaya sebagai keturunan langsung dari Kami atau dewa-dewa Shintō. Hirata Atsutane goodtune.io adalah salah satu tokoh yang turut mempopulerkan ajaran ini di abad 19. Ia ingin mengimbangi diskursus filsafat di Jepang yang sebelumnya didominasi naskah-naskah Cina kuno, terutama tentang ajaran Buddha dan Konfusianisme.

 

Seiring bangkitnya kekaisaran Meiji , ajaran ini perlahan dipoles oleh penguasa Jepang sebagai “agama sipil” atau “agama politik”. Alih alih dipandang sebagai agama yang harfiah , ajaran ini malah berfungsi sebagai pedoman moral agar bangsa Jepang tetap setia terhadap Kaisar dan negara.

 

Peran Kuil Yasukuni

 

Awalnya kuil ini dibuat sebagai tempat slot88.gold ritual Shintō untuk memuja pejuang yang gugur demi membela Kaisar Meiji. Kuil ini juga sempat dimanfaatkan sebagai alat politik oleh para jenderal dan pemangku kekuasaan—yang bertindak atas nama kaisar—untuk memobilisasi massa dan membangun semangat kebangsaan.

 

Selain sebagai tempat untuk menghormati para tentara yang gugur , kuil ini juga sempat digunakan sebagai perayaan kesuksesan pasukan Jepang setelah mereka mengalahkan angkatan perang Cina dan Rusia.

 

Walaupun dikenal sebagai tempat sakral , kuil Yasukuni bukanlah tempat bagi keluarga yang ditinggalkan untuk mengekspresikan duka. Justru kuil ini menjadi ruang selebrasi kolektif yang memberi makna positif bagi pengunjungnya. Seperti peringatan pertama kuil di tahun 1869 yang diadakannya acara pertandingan sumo yang masih berjalan hingga saat ini.

 

Narasi nasionalisme kuil Yasukuni memang terkesan milisterisitik dan maskulin. Namun siapa sangka ternyata perempuan juga mempunyai tempat di dalamnya. Di tahun 1941 , sempat muncul publikasi berjudul Perempuan Yasukuni. Publikasi itu mengisahkan 41 perempuan yang gugur dalam situs judi slot online misi kemanusiaan di medan peperangan. Dari sekitar 200 ribu total arwah yang didoakan di kuil Yasukuni saat itu , 50 ribu di antaranya adalah “perempuan berani dan setia”.

 

Tak hanya orang Jepang saja , namun orang Korea dan Taiwan yang gugur sebagai tentara Kekaisaran Jepang juga didoakan di Kuil Yasukuni. Dengan kata lain , siapapun orangnya dan darimanapun asalnya , mereka masih akan mendapatkan tempat di kuil Yasukuni senyampang tercatat gugur dalam aksi membela Kekaisaran Jepang.